Untuk menghadapi krisis iklim, banyak negara menetapkan target zero carbon pada 2050 atau lebih cepat. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah dunia benar-benar siap menjalankan kebijakan ambisius ini?
Zero carbon berarti semua emisi gas rumah kaca harus dikurangi hingga nol, dengan sisanya diimbangi lewat teknologi penyerapan karbon. Untuk mencapainya, negara harus bertransformasi total di sektor energi, transportasi, industri, hingga pertanian.
Beberapa negara maju sudah melangkah lebih cepat. Uni Eropa, Jepang, dan Kanada menetapkan target agresif, sementara Tiongkok berkomitmen mencapai netral karbon pada 2060. Namun, negara berkembang menghadapi tantangan besar terkait biaya dan infrastruktur.
Transisi ini juga memicu konflik kepentingan. Industri batu bara dan minyak menolak keras, sementara sektor energi terbarukan berusaha tumbuh cepat. Banyak pekerja tradisional khawatir kehilangan mata pencaharian.
Selain itu, investasi yang dibutuhkan sangat besar, mencapai triliunan dolar. Tanpa dukungan finansial dari negara maju, negara miskin sulit ikut dalam transisi.
Meski demikian, tekanan publik semakin kuat. Generasi muda mendesak pemerintah mengambil langkah nyata, sementara bencana iklim yang semakin sering terjadi menjadi peringatan keras.
Kebijakan zero carbon bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal keadilan global. Dunia harus memastikan transisi ini tidak meninggalkan negara berkembang.
Apakah dunia siap? Jawabannya masih belum pasti, tetapi arah sudah jelas: tanpa zero carbon, masa depan bumi berada dalam bahaya.

