Gelombang panas ekstrem telah menjadi fenomena tahunan yang kian intens di Asia, menimbulkan risiko serius bagi kesehatan masyarakat, infrastruktur, dan produktivitas ekonomi. Suhu yang memecahkan rekor di Asia Selatan dan Asia Tenggara menyebabkan peningkatan kasus penyakit terkait panas, kegagalan panen, dan lonjakan permintaan energi yang mengancam jaringan listrik.
Negara-negara Asia kini berfokus pada strategi adaptasi jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, pemerintah meluncurkan sistem peringatan dini panas (heat-warning systems) yang lebih efektif, membuka tempat penampungan ber-AC, dan mengubah jam kerja untuk menghindari puncak suhu. Kampanye kesehatan publik ditekankan untuk melindungi kelompok rentan, seperti lansia dan pekerja luar ruangan.
Dalam jangka panjang, strategi adaptasi melibatkan perencanaan kota yang lebih hijau, termasuk penanaman pohon secara masif (urban greening) untuk menciptakan “pulau dingin” di perkotaan. Pembangunan infrastruktur tahan panas, seperti atap yang memantulkan panas dan jaringan listrik yang diperkuat, juga menjadi prioritas. Investasi dalam teknologi pendingin yang hemat energi menjadi krusial.
Meskipun upaya adaptasi sedang berjalan, kecepatan perubahan iklim menuntut tindakan yang lebih cepat dan investasi yang lebih besar. Koordinasi regional untuk berbagi praktik terbaik dan sumber daya mitigasi diperlukan untuk memastikan kawasan ini dapat mengatasi ancaman kesehatan publik dan ekonomi yang ditimbulkan oleh suhu ekstrem.
Asia merespons gelombang panas ekstrem dengan strategi adaptasi termasuk sistem peringatan dini, perubahan jam kerja, dan investasi jangka panjang dalam urban greening serta infrastruktur tahan panas untuk melindungi kesehatan dan stabilitas ekonomi.

