Berlawanan dengan “FOMO” (Fear of Missing Out) yang mendominasi budaya digital, kini muncul tren “JOMO” (Joy of Missing Out) di kalangan kaum muda urban Jepang. Ini adalah gerakan sadar untuk menarik diri dari hiruk pikuk media sosial dan online connectivity, mencari ketenangan dan kepuasan dalam momen-momen offline dan kehadiran diri yang penuh.
Fenomena ini adalah respons terhadap tekanan konstan untuk tetap online dan terhubung, yang seringkali menyebabkan kelelahan mental dan perbandingan sosial yang tidak sehat. Kaum muda Jepang, yang terkenal dengan budaya kerja keras dan konsumsi teknologi tinggi, kini mencari keseimbangan.
Praktik JOMO mencakup membatasi penggunaan smartphone, meluangkan waktu di alam tanpa gangguan digital, atau menikmati hobi offline seperti membaca buku fisik, berkebun, atau membuat kerajinan tangan. Beberapa bahkan mengadopsi hari atau akhir pekan “tanpa gawai” secara teratur.
Banyak kafe dan ryokan (penginapan tradisional Jepang) kini menawarkan “paket digital detox”, di mana tamu didorong untuk menyerahkan smartphone mereka saat check-in dan menikmati pengalaman yang sepenuhnya terputus dari dunia maya. Ini menjadi daya tarik wisata tersendiri.
Tren JOMO bukan berarti penolakan total terhadap teknologi, melainkan upaya untuk menggunakannya secara lebih sadar dan seimbang. Ini adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati seringkali ditemukan dalam kesederhanaan dan koneksi yang otentik, di luar layar digital.

