Asia, sebagai pusat manufaktur global dan pasar konsumen terbesar, telah menyaksikan lonjakan startup kendaraan listrik (EV). Namun, di balik kisah sukses Tesla dan BYD, terdapat banyak startup EV lokal yang harus gulung tikar. Studi kasus kegagalan ini menawarkan pelajaran penting bagi para inovator dan investor masa depan. Salah satu penyebab utamanya sering kali adalah kegagalan dalam mengamankan modal berkelanjutan yang cukup untuk menutupi biaya operasional yang sangat besar, terutama dalam pengembangan baterai dan infrastruktur pengisian daya.
Masalah mendasar lainnya adalah tantangan dalam skala produksi massal. Transisi dari prototipe yang sukses ke produksi ribuan unit membutuhkan investasi besar dalam rantai pasokan dan kontrol kualitas yang ketat. Banyak startup Asia yang meremehkan kompleksitas ini, mengakibatkan penundaan pengiriman, biaya produksi yang melambung, dan produk akhir yang kurang berkualitas dibandingkan dengan pemain lama yang lebih mapan. Kurangnya pengalaman dalam manajemen rantai pasokan otomotif global menjadi kelemahan fatal.
Selain isu internal, persaingan yang sangat ketat dari raksasa otomotif tradisional yang mulai memasuki pasar EV juga menjadi faktor penentu. Startup sering kali tidak dapat bersaing dalam hal harga, jaringan layanan purna jual, dan kepercayaan merek. Konsumen Asia cenderung memilih merek yang sudah teruji, terutama untuk investasi besar seperti mobil. Ini menuntut startup untuk menemukan niche yang sangat spesifik atau menawarkan keunggulan teknologi yang benar-benar disruptif.
Pelajaran kuncinya adalah pentingnya pendekatan yang realistis terhadap pendanaan, keahlian manufaktur, dan strategi pasar yang berbeda. Startup EV yang berhasil perlu memiliki strategi go-to-market yang cepat, fokus pada pengalaman pengguna yang unik, dan yang paling penting, kolaborasi strategis dengan pemasok dan mitra yang kredibel. Kegagalan ini menunjukkan bahwa teknologi hebat saja tidak cukup; eksekusi yang sempurna adalah yang membedakan.

