Work-Life Balance di Asia yang Keras: Fenomena Jugaeng Korea.

Work-Life Balance di Asia yang Keras: Fenomena Jugaeng Korea.

Fenomena Jugaeng (주객) di Korea Selatan, yang secara harfiah berarti “tuan dan tamu,” adalah salah satu manifestasi paling nyata dari tantangan work-life balance di Asia Timur yang dikenal keras. Jugaeng merujuk pada budaya kerja di mana karyawan diharapkan untuk mendedikasikan diri sepenuhnya pada perusahaan, sering kali bekerja lembur yang ekstrem dan berpartisipasi dalam acara kantor setelah jam kerja, hingga batas di mana pekerjaan menjadi tuan (ju) dan kehidupan pribadi menjadi tamu (gaek).

Budaya kerja yang panjang dan menuntut ini berakar pada nilai-nilai Konfusianisme yang menekankan loyalitas, hierarki, dan dedikasi. Meskipun Korea Selatan telah memberlakukan undang-undang untuk membatasi jam kerja mingguan, tekanan sosial dan budaya untuk tetap di kantor atau berpartisipasi dalam hoeshik (pertemuan minum-minum) setelah jam kerja tetap kuat. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat stres, burnout, dan masalah kesehatan mental di kalangan pekerja muda.

Namun, terjadi pergeseran perlahan. Generasi MZ Korea (Millennial dan Gen Z) semakin menolak budaya Jugaeng ini, memprioritaskan kesejahteraan pribadi, waktu luang, dan pekerjaan yang memiliki arti (meaningful work). Perusahaan-perusahaan besar mulai merespons dengan menawarkan kebijakan kerja yang lebih fleksibel, jam kerja yang lebih pendek, dan inisiatif kesehatan mental, meskipun perubahan budaya secara keseluruhan berjalan lambat.

Fenomena Jugaeng dan perjuangan untuk work-life balance di Korea menjadi cerminan bagi banyak negara Asia lainnya yang menghadapi tekanan serupa antara ambisi ekonomi dan kualitas hidup. Ini menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi penting, memanusiakan tempat kerja adalah langkah krusial berikutnya untuk memastikan keberlanjutan dan kesehatan tenaga kerja.